Rabu, 18 Mei 2011

Peranan LSM dalam Perubahan Sosial di Indonesia

Memahami Perubahan Sosial

Perubahan social dapat dimaknai sama dengan pembangunan / development. Pembangunan menjanjikan harapan baru untuk memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbelakangan bagi berjuta-juta rakyat di dunia ketiga. Istilah pembangunan mendominasi dan mempengaruhi pikiran bangsa-bangsa dunia ketiga dan juga mempengaruhi dunia secara global, bahkan nyaris menjadi “agama baru”.

Di Indonesia, kata pembangunan erat kaitannya dengan pemerintahan orde baru. Selain sebagai semboyan, kata pembangunan juga menjadi nama bagi pemerintahan orde baru, sebab kabinet di era pemerintahan orde baru selalu dikaitkan dengan kata pembangunan, meskipun kata pembangunan sesungguhnya telah dikenal dan dipergunakan sejak orde lama.

Ada banyak kata yang mempunyai makna sama dengan kata pembangunan, disamping perubahan social, juga pertumbuhan dan modernisasi. Namun pembangunan memberi makna perubahan kearah lebih positif, dan pembangunan juga bergantung pada kontek siapa yang menggunakannya dan untuk kepentingan apa.

  1. Lahirnya Istilah Pembangunan / Developmentalisme

Pembangunan atau Developmentalisme dan juga biasa disebut dengan modernisasi dikembangkan dalam rangka membendung pengaruh dan semangat anti Kapitalisme bagi bejuta-juta rakyat di Dunia ketiga. Gagasan Development dimulai tahun 1940-an, tepatnya pada tanggal 20 Januari 1949 ketika Presiden Amarika Harry S. Truman mengumumkan kebijakan pemerintahnya, maka istilah development dan underdevelopment resmi menjadi bahasa dan doktrin kebijakan luar negeri Amerika Serikat.

Development selain untuk memberi jawaban atas penolakan Dunia ketiga yang baru merdeka atas kapitalisme, juga sebagai jawaban ideology terhadap meningkatnya daya tarik rakyat Dunia ketiga terhadap keberhasilan Uni Sovyet sebagai kekuatan baru. Jadi gagasan development mulanya dilontarkan dalam kerangka perang dingin yakni suatu kebijakan untuk membendung sosialisme di Dunia ketiga. Dengan demikian jelaslah bahwa development pada dasarnya adalah bungkus baru dari kapitalisme.

Pemikiran Development / Kapitalisme disebarluaskan di Dunia ketiga dengan berbagai cara. Banyak ilmuwan dan para pakar ilmu-ilmu social Amerika pada tahun 1950-an dan 1960-an memainkan peran penting dan terlibat secara mendalam dalam mempengaruhi kebijakan Amerika untuk globalisasi discourse tentang development dan modernisasi. Diantara ilmuwan yang sangat produktif dalam menciptakan pengetahuan dan teori development dan modernisasi adalah ekonom Rostow, juga McClelland dan Inkeles. Salah satu hasil penting mereka adalah bahwa gagasan development dan modernisasi harus menjadi pilar utama bagi kebijakan program bantuan dan politik luar negeri Amerika.

Meskipun teori modernisasi bermacam-macam, namun mereka meyakini satu hal yang sama yaitu factor manusia menjadi focus utama perhatian mereka. Mereka melihat development sebagai proses evolusi perjalanan dari tradisional ke modern. Pikiran ini dapat dijumpai dalam teori pertumbuhan yang sangat terkenal yakni the five-stage scheme, yang dikembangkan oleh W.W Rostow (1960). Asumsinya adalah bahwa semua masyarakat termasuk masyarakat Barat pernah mengalami tradisional dan akhirnya menjadi modern. Sikap manusia tradisional disini dianggap sebagai masalah.

Konsep development dan modernisasi ini kemudian serta-merta dianut oleh berjuta-juta rakyat Dunia ketiga, yang sebenarnya merupakan refleksi dari paradigma Barat tentang perubahan social. Artinya pembangunan diidentikan seperti gerakan langkah demi langkah menuju modern, yaitu merefleksikan perkembangan dan kemajuan teknologi dan ekonomi seperti yang dialami oleh neraga-negara industri. Konsep ini mempunyai akar sejarah dan intelektualitas perubahan social yang diasosiasikan dengan revolusi industri di Eropa.

Gagasan development dan modernisasi ini selain menjadi doktrin politik bantuan luar negeri Amerika melalui pemerintah Dunia ketiga maupun LSM, juga serempak hampir disetiap Universitas di Barat membuka suatu kajian baru yang dikenal dengan Development Stadies. Melalui development studies ini proses penyebaran kapitalisme dipenjuru dunia dipercepat, yakni melalui: teknokrat, intelektual dan bahkan aktivis LSM dari dunia ketiga yang menjadi pasar utama program studi tersebut. Escobar (1990) menggambarkan proses ekspansi discourse development melalui penciptaan network kelembagaan, seperti: lembaga dana international, universitas, lembaga riset dll. Bahkan semua hal diarahkan pada upaya mengimplementasikan gagasan developmentalisme dan modernisasi, sehingga saat ini developmentalisme sudah diyakini oleh sebagai besar birokrat pemerintah, akademisi dan juga aktivis LSM di Indonesia sebagai satu-satunya jalan menuju masyarakat sejahtera.

Kemudian pertanyaan mendasar adalah: apakah gagasan development yang diciptakan sebagai bungkus kapitalisme dalam rangka membendung sosialisme itu mampu menghancurkan struktur ekonomi yang ekploitatif, menyingkirkan proses budaya yang dominatif, melenyapkan system politik yang represif, dan seterusnya. Untuk menganalisis dan mengevaluasi sebuah teori diperlukan kacamata, dan berbeda kacamata akan menghasilkan penilaian yang berbeda pula. Oleh karena itu, untuk melihat dan menganalisis perubahan social, biasanya disebut paradigma perubahan social.

  1. Paradigma Perubahan Sosial

Banyak teori yang dikembangkan oleh banyak ahli untuk melihat dan menganalisis perubahan social. Dalam tulisan ini tidak akan dijelaskan secara kronologis masing-masing teori, namun hanya akan dijelaskan tentang inti dari teori tersebut, diantaranya adalah:

  1. a. Teori evolusi

Teori ini awalnya dikembangkan oleh Frederick Hegel kemudian oleh Auguste Comte, yang menjelaskan bahwa perubahan merupakan hal yang natural, kontinyu, keharusan dan berjalan melalui sebab yang sama. Teori ini sangat berpengaruh terhadap hampir semua teori perubahan social dan pembangunan setelahnya. Teori ini menganggap masyarakat bergerak dari masyarakat miskin non-industri sebagai primitive dan akan berevolusi ke masyarakat industri yang lebih komplek dan berbudaya. Teori ini melihat tradisi sebagai suatu masalah.

  1. b. Teori structural – functionalisme

Teori ini dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Persons, terori ini memandang masyarakat sebagai suatu system yang terdiri atas bagian yang saling berkaitan (agama, pendidikan, struktur politik, keluarga dan sebagainya). Masing-masing bagian secara terus-menerus mencari keseimbangan dan harmoni antara mereka. Interrelasi tersebut dianggap bisa terjadi karena adanya consensus, dan suatu pola yang non normative dianggap akan melahirkan gejolak. Jika hal ini terjadi maka masing-masing pihak akan cepat menyesuaikan diri untuk mencapai keseimbangan lagi. Terori ini menganggap perubahan masyarakat tidak ditetapkan berapa lama evolusinya. Dan konflik dalam suatu masyarakat dilihat sebagai tidak berfungsinya integrasi social dan keseimbangan. Oleh karena itu harmoni dan integrasi dipandang sebagai fungsional, bernilai tinggi dan harus ditegakkan, sedangkan konflik harus dihindarkan, artinya status quo harus dipertahankan.

  1. c. Teori Modernisasi,

Menurut Hutington (1976) proses modernisasi bersifat revolusioner (perubahan cepat dari tradisi ke modern), komplek (melalui banyak cara), sistematik, global (akan mempengaruhi semua manusia), bertahap (melalui langkah-langkah), homoginisasi dan progressive. Teori ini dipergunakan dikalangan interdisiplin, seperti: sossilogi, psikologi, ilmu politik, ekonomi, antropologi dan bahkan agama. Ukuran modernitas bagi teori ini adalah suatu masyarakat yang menurut mereka modern adalah masyarakat barat.

  1. d. Teori Human Capital,

Teori ini dikembangkan oleh Theodore Shultz (1961) yang menekankan pada kemampuan productive dari sumberdaya manusia sebagai modal investasi bagi proses pembangunan. Teori ini menganggap keterbelakangan masyarakat adalah sumber factor internal negara atau masyarakat itu sendiri. Upaya untuk meningkatkan investasi pada human capital mereka lihat sebagai hasil dari cepatnya pertumbuhan ekonomi.

  1. e. Teori Marxists,

Teori evolusi dan structural fungsionalisme diatas menjelaskan bahwa perubahan terjadi secara pelahan dan damai serta mengabaikan konflik sebagai suatu dimensi perubahan social. Sedangkan menurut Marx, masyarakat terpolarisasi dalam dua kelas, yang selalu konflik, yakni yang mengekploitasi dan diekploitasi. Marx melihat masyarakat berkembang dari masyarakat komunis primitive, kemudian perbudakan, feudal, kapitalis, sosialis dan akhirnya menuju komunisme, perubahan tersebut melalui suatu konflik. Menurut Marx, konflik terletak antara kelas berjuis dan ploretar. Dalam system kapitalis, proses ekploitasi Kepada kelas proletar (buruh yang menghasilkan produksi) oleh kelas berjuis (majikan tidak bekerja tetapi menguasai alat produksi) diselenggarakan oleh kelas menengah. Hasil ekploitasi itu selanjutnya didistribusikan pada berbagai pihak dalam bentuk pajak, bunga bank, sewa tanah, riset dll. Sebagai imbalan, lembaga-lembaga yang didalamnya terdapat kelas menengah mendukung kelas borjuis dengan memberi legitimasi terhadap ekploitasi tersebut dalam bentuk norma, penekanan maupun penindasan. Jika kesadaran buruh meningkat konflik kelas tak dapat dikendalikan maka perubahanpun terjadi.

  1. f. Teori Dependency

Teori ini berlawanan dengan teori evolusi dan modernisasi, teori dependency menekankan hubungan baik dengan masyarakat sendiri, seperti masalah struktur social, cultural, ekonomi dan politik. Asumsi dasar dari teori ini adalah keterbelakangan dan pembangunan adalah konsep yang saling berkaitan dengan berkembangnya masyarakat diluarnya. Kata ketergantungan dipakai untuk memberi tekanan bahwa hubungan kemajuan di tingkat pusat dan keterbelakangan di tingkat daerah atau pelosok desa adalah akibat dari proses sejarah dan disengaja. Kerangka pemikiran ini berakar pada teori Marx tentang ekploitasi, artinya keterbelakangan di negara Dunia ketiga adalah akibat dari kapitalisme di Barat. Pemikiran Lenin tentang imperialisme juga mewarnai teori ini, dimana transfer sumber dapat terjadi dengan berbagai cara: baik melalui hubungan kolonialisme maupun operasi perusahaan multi nasional. Artinya menjajah negara lain tidak lagi seperti zaman kolonialisme dulu, tetapi cukup membuat para pemimpin negara miskin / Dunia ketiga memiliki sikap, nilai dan interest pada negara kaya.

  1. g. Teori Liberasi,

Dekat dengan teori Marxist dan Dependency adalah teori liberasi. Teori ini menolak Marx dan Dependency tetapi memberi alternatif focus terhadap keterbelakangan dan bagaimana mengatasinya. Teori ini menagaskan bahwa tidak ada harapan bagi orang miskin tanpa adanya perubahan mendasar dalam struktur masyarakat dan struktur yang lebih luas dalam sosio-ekonomi, politik dan budaya. Teori ini lebih menekankan pada pendekatan humanitik dari pada pendekatan structural, dengan asumsi masyarakat terbelakang ditindas oleh pemegang kekuasaan dalam masyarakat mereka sendiri. Paulo Freire (1972) sebagai salah satu tokoh dari teori ini menfokuskan perlunya pendidikan dalam liberalisasi dan pembangunan. Dalam pembangunan menurut Paulo Freire lebih menekankan pada keadilan ketimbang soal harta kekayaan.

Perubahan Sosial di Indonesia

Sebagaimana dijelaskan dalam bebagai teori diatas, bahwa perubahan social terjadi karena berbagai sebab dan bermacam-macam cara. Untuk melihat dan memetakan perubahan social yang terjadi di Indonesia dari waktu ke waktu, bersama ini dipaparkan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia di era Orde Baru dan era Reformasi.

Sebagaimana urian teori diatas, deskripsi ini juga tidak akan menggambarkan seluruh realitas social yang terjadi di Indonesia. Namun hanya akan dipaparkan beberapa kasus yang diharapkan dapat menggambarkan ciri perubahan sosial yang terjadi pada era tersebut.

  1. 1. Era Orde Baru

Indonesia sebagai Dunia ketiga / negara berkembang juga tidak terlepas dari intervensi dan dominasi negara pertama / negara maju. Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa idiologi developmentalisme pada era orda baru betul-betul diadopsi dan dikembangkan melalui mekanisme kontrol ideologi, social dan politik yang canggih. Untuk melindungi ideology pembangunan tersebut Pemerintah menegakkan berbagai pendekatan. Beberapa peraturan dan perundangan yang dihasilkan di era orde baru yang memperkuat posisi negara sekaligus memperlemah posisi politik masyarakat, diantaranya adalah:

  1. Inpres Nomor 6 Tahun 1970 tentang monoloyalitas bagi pegawai negeri kepada Golkar,
  2. Keputusan MPR Tahun 1971 tentang Konsep masa mengambang yang membatasi kegiatan partai politik hanya sampai di aras Kabupaten,
  3. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1973 tentang fusi Partai yang hanya memperbolehkan adanya tiga partai politik yaitu: PPP, Golkar dan PDI,
  4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang meletakkan birokrasi pemerintahan yang berada pada aras terbawah dibawah kontrol Departemen Dalam Negeri sepenuhnya,
  5. Instruksi Menteri Dalam Negeri No 2 Tahun 1981 yang memasukkan LMD (semula merupakan organisasi partisipasi masyarakat) kedalam kontrol Departeman Dalam Negeri,
  6. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Asas Tunggal Pancasila yang memberi wewenang penuh bagi Departemen Dalam Negeri untuk mengontrol semua organisasi massa.

Masih banyak lagi upaya-upaya untuk memperlemah peran masyarakat seperti: memperkokoh organisasi militer sampai tingkat Kecamatan dan menempatkan seorang militer untuk setiap Desa (Babinsa), Menggeser pemilihan lurah yang dilakukan secara demokratis dan menggantikan dengan penempatan seorang militer sebagai Kepada Desa. Dan berbagai aturan yang penyeragaman wadah asosiasi social dengan penerapan asas tunggal Pancasila, untuk mempermudah melakukan kontrol, seperti : satu-satunya organisasi buruh yang boleh berdiri hanya SPSI, Menciptakan KUD sebagai satu-satunya Koperasi yang diizinkan operasi ditingkat Kecamatan, dan seterusnya. Bahkan dari kebijakan penyederhanaan Partai berakibat pada pemusatan kekuasaan, sebab Presiden sebagai mandatris MPR yang merupakan pimpinan birokrasi sekaligus menjadi Pimpinan tertinggi ABRI adalah Ketua Dewan Pembina Golkar sebagai Partai Pemenang Pemilu yang penuh rekayasa dan tentu mayoritas di parlemen.

Dengan demikian, di era orde baru ini merupakan era pemberangusan hak–hak sipil dan politik rakyat. Di Era orde baru ini dilakukan proses-proses depolitisasi dalam berbagai bidang kehidupan, dan seluruh sumberdaya ekonomi, social, politik rakyat dirampas. Dalam melakukan perubahan semua kekuatan social politik yang potensial seperti : Petani, Buruh, wartawan, intelektual disatukan sedemikian rupa agar mudah dikontrol dan memiliki pandangan yang sama tentang pembangunan.

  1. 2. Era Paska Reformasi

Dalam era ini terjadi perubahan-perubahan yang luar biasa terhadap tatanan yang telah dibangun di era orde baru. Era reformasi ini merupakan puncak dari keruntuhan era orde baru, yaitu Pemerintahan yang sentralistik dan dominan. Dalam era ini terjadi penolakan dan perombakan-perombakan terhadap berbagai kebijakan di era orde baru, diantaranya adalah:

  1. Diterbitkannya undang-undang Pemilu yang memberi kebebasan untuk membentuk partai politik, masa mengambang yang dihasilkan di era Orde Baru sudah tidak berlaku lagi, sehingga rakyat dapat menyalurkan aspirasi politiknya secara bebas. Pada Pemilu tahun 1999 terdapat lebih dari 150 partai dan 48 diantaranya bertarung untuk memperebutkan 462 kursi yang ada di DPR. Pada Pemilu tahun 2004 jumlah partai Politik yang telah berbadan hukum sebanyak 50 Partai Politik, sedangkan yang memenuhi persaratan untuk menjadi peserta Pemilu sebanyak 24 partai.
  2. DPR, DPD dan MPR jauh representatif, pada Pemilu 1999 masih ada keterwakilan ABRI, tetapi pada Pemilu 2004 sudah tidak ada lagi anggota Parlemen yang tidak dipilih oleh rakyat. Dalam Parlemen dengan bebas dapat membentuk forum-forum, seperti Poros Tengah, Koalisi Kerakyatan, Koalisi Pembangunan dll.
  3. Diratifikasinya Konvensi HAM, Amandemen terhadap UUD 1945 dan dihapuskannya pendekatan keamanan dalam proses pembangunan memungkinkan adanya perlindungan hukum dan dihargainya kedaulatan rakyat.

Dari berbagai kebijakan di era reformasi ini telah memberi peluang terhadap kebebasan individu maupun kelompok masyarakat, telah memberi peluang terhadap perubahan social yang positif dan lebih domokratis. Pada tataran struktur pemerintahan formal nampak adanya tanda-tanda yang mendukung terwujudnya civil society.

Namun keterbukaan dan kebebasan tersebut tidak dibarengi oleh tanggungjawab, solidaritas, inklusivitas dan kepatuhan kepada hukum, sehingga perubahan social yang terjadi tidak didasarkan pada mekanisme demokrasi yang benar, namun mengarah pada memunculkan suatu dominansi masyarakat tertentu, seperti kelompok borjuis, kapitalis atau kelompok-kelompok yang mendasarkan diri pada ikatan primordial (kedaerahan, suku dan agama), contoh kasus: Sambas, Ambon, dan daerah-daerah lainnya. Serta berbagai gerakan yang mengatasnamakan reformasi, namun berakhir pada tindak kekerasan, kerusuhan massal, dan penjarahan. Hal ini disebabkan oleh melemahnya dominasi negara yang diganti oleh dominasi pasar.

Oleh karena itu, di era paska reformasi ini perlu adanya koreksi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam membangun masyarakat yang demokratis, melalui penyediaan arena publik dalam bentuk open haouse, dan berbagai forum serta saluran lainnya sebagai tempat bertemunya negara dengan rakyat. Forum dan saluran tersebut dapat menampung aspirasi rakyat, tempat dan media dimana rakyat secara bebasa melakukan pengawasan, berpartisipasi politik dan meminta pertanggungjawaban. Dengan demikian, kebebasan yang ada berdasarkan kesepakatan bersama, bukan kebebasan yang bersifat liberal, namun mempunyai batasan yang tegas, yaitu: batas kepatuhan Kepada hukum dan HAM serta Kepada batas inklusifitas dan solidaritas.

Adanya pemilihan umum (2004) yang jujur, adil, bebas, dan rahasia, pemilihan Presiden RI secara langsung, merupakan saluran-saluran partisipasi rakyat secara bebas, independen, tidak eksklusif bagi agama tertentu, daerah tertentu, suku tertentu, golongan social – ekonomi tertentu atau partai tertentu, namun untuk semua golongan. Hal ini merupakan salah satu bentuk penciptaan ruang bagi rakyat untuk mengembangkan gagasan-gagasan dan pilihan mereka sendiri tentang perubahan social.

Peran LSM dalam Perubahan Sosial

Pada era orde baru, strategi pembangunan LSM di Indonesia menurut David Korten (1987) dikelompokkan menjadi 3 genarasi, yaitu: generasi bantuan dan kesejahteraan, generasi keswadayaan dalam skala local dan generasi pembangunan yang berkelanjutan. Strategi pembangunan yang dikembangkan oleh LSM ini tidak terlepas dari kebijakan LSM international yang juga mendukung program yang bersifat karitatif.

Generasi pertama, bantuan yang diberikan lebih kepada penanganan kelaparan akibat banjir, akibat perang, dipengungsian dan bencana alam lainnya, seperti: distribusi pangan, penyediaan tempat penampungan dan pengiriman tim kesehatan. Sedangkan generasi kedua, yang muncul pada tahun 1970-an menurut Korten, merupakan reaksi atas keterbatasan pendekatan bantuan dan kesejahteraan sebagai strategi pembangunan. Pada generasi kedua ini LSM mulai melakukan pengembangan masyarakat dengan penekanan pada swadaya local, seperti: memperbaiki cara-cara bertani, memperbaiki infrastruktur local, pelayanan kesehatan yang bersifat pencegahan, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah, namun difokuskan pada wilayah-wilayah yang tidak terjangkau atau tidak memadainya layanan pemerintah. Pada generasi ketiga LSM sudah mengembangkan alternatif-alternatif baru yang berbeda dengan pemerintah, namun mendukung modernisasi dan developmentalis yang merupakan idiologi kapitalis yang selama ini dianut oleh pemerintah. Artinya pada era orde baru LSM juga menggunakan paradigma developmentalis, walaupun LSM mengerjakan apa yang tidak dikerjakan oleh pemerintah, tetapi berada pada pola pemerintah.

Setelah selama sekitar dua dasawarsa (1970-an – 1980-an) LSM bekerja tidak terjadi perubahan yang berarti pada masyarakat, baru menyadari bahwa pendekatan developmentalis bukan suatu solusi melainkan bagian dari masalah itu sendiri, sebab pendekatan tersebut malah menciptakan ketergantungan. Dan setelah dikaji lebih dalam pendekatan developmentalis dan modernisasi adalah bungkus baru dari kue lama kapotalisme. Kemudian pada awal dasawarsa 1990-an, para aktivis LSM mulai melakukan refleksi kritis terhadap peran, misi dan visi gerakannya. Para aktivis LSM saling mempertanyakan kompetensi methodologis dan tehnis antar aktivis LSM dalam memfasilitasi proses perubahan di Indonesia. Dalam berbagai pertemuan LSM, selalu dilakukan outokritik, bahkan terjadi konflik antar aktivis LSM yang mendukung perlunya pembangunan untuk menolong rakyat miskin dengan aktivis LSM yang mulai ingin memperjelas perspektif idiologis, paradigma dan landasan teoritis aktivis LSM tentang perubahan social.

Kemudian dalam pertemuan LSM di Cisarua pada bulan Juli 1992, direkomendasikan perlunya studi tentang posisi dan peran masa depan gerakan LSM di Indonesia. Pertanyaan utama dari studi tersebut adalah Bagaimana Peran LSM dalam transformasi social di Indonensia ? Dari hasil studi yang menggunakan pendekatan partisipatif dan dialogis, bertujuan untuk :

  1. Penemuan masalah, dengan memahami visi, idiologi dan paradigma aktivis LSM tentang perubahan social, dan Bagaimana menterjemahkannya dalam kegiatan lapangan,
  2. Secara kolaboratif mengembangkan paradigma dan penerjemahannya kedalam rencana aksi.

Dengan studi reflektif tersebut diharapkan para aktivis dapat membangun paradigma dan perspektif LSM tentang perubahan social. Dan berdasarkan paradigma tersebut, para aktivis LSM akan menemukan suatu cara untuk mewujudkannya dalam kegiatan lapangan.

Dari proses refleksi yang terus menerus antara kelompok inti peneliti, aktivis LSM yang terlibat secara langsung dan aktivis LSM yang tidak terlibat namun mendapatkan informamsi proses dan hasil penelitian ini, maka secara bertahap terjadi perubahan perspektif maupun pendekatan dalam pengorganisasian masyarakat di Indonesia.

Dari hasil penelitian diketahui posisi politis dan ideologis aktivis tentang perubahan social. Posisi politis aktivis LSM Indonesia dapat digolongkan menjadi tiga tipologi, yaitu: Konformisme, reformis dan transformatif. Tipe konformis adalah aktivis LSM yang melakukan pekerjaan dengan didasarkan pada paradigma karitatif, dengan motivasi menolong rakyat yang didasarkan pada niat baik untuk membantu yang membutuhkan. Tipe reformis adalah pemikiran yang didasarkan pada ideology developmentalisme dan modernisasi, masyarakat miskin karena mereka tidak berpendidikan dan tidak memiliki modal. Karena itu kemudian LSM menfasilitasi melalui pelatihan-pelatihan dan memberi bantuan modal untuk berusaha. Sedangkan tipe selanjutnya sebagai alternatif dari dua tipe sebelumnya adalah transformatif, yaitu berusaha mengubah struktur dan superstruktur yang menindas rakyat dan membuka kemungkinan bagi rakyat untuk mewujudkan potensi kemanusiaannya. Paradigma alternatif ini harus mendorong kearah terciptanya superstruktur dan struktur yang memungkinkan bagi rakyat untuk mengontrol cara produksi dan mengontrol produksi informamsi dan ideology mereka sendiri. Mereka mencari struktur dan superstruktur yang memungkinkan bagi rakyat untuk mengontrol perubahan social dan menciptakan sejarah mereka sendiri, struktur yang memungkinkan bagi masyarakat menuju jalan demokratis dalam perubahan social, ekonomi dan politik.

Namun pada awal dasawarsa 1990-an sangat sedikit aktivis LSM yang benar-benar dapat digolongkan memiliki perspektif transformatif. LPKP Jawa Timur yang dirintis pada tahun 1988 pada awalnya juga menganut ideology modernisasi dan developmentalisme dengan paradigma reformis, bahkan sampai sekarangpun LPKP belum bebas dari ideoligi ini. Hal ini tergambar dari program-program yang dikembangkan, seperti: Pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak keluarga miskin di Kecamatan Singosari Kab Malang, Program Beasiswa alternatif untuk anak-anak keluarga miskin, Pengembangan Model Pendidikan Non Formal bagi pekerja anak di sector pertanian dan indutri di Kabupaten Malang, Peningkatan pendapatan masyarakat melalui Pengelolaan lahan kritis di Kecamatan Pagak Kab. Malang, Program peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur perkotaan di Kodya Pasuruan dll.

Pada akhir dasawarsa 1990-an, tepatnya pada tahun 1998, beberapa aktivis LPKP mengalami perubahan paradigma setelah melaksanakan Lokalatih Analisis Sosial dan Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat. Dalam kegiatan tersebut peserta diajak untuk melakukan analisis kritis mengoreksi seluruh kegiatan pendampingan yang telah dilakukan bersama masyarakat. Kemudian diajak memahami realitas social, analisis social dan perubahan social dengan memaparkan berbagai teori dan paradigma perubahan social. Dari proses interaksi antara fasilitator dengan peserta dan antar peserta pada awalnya terjadi konflik-konflik karena perbedaan cara pandang tersebut. Namun kemudian semua peserta menyadari bahwa mereka belum pernah secara formal berbicara tentang ideology dan visi mereka dan mereka tidak memiliki alat analisis yang jelas untuk memahami masalah.

Setelah pelaksananan lokalatih tersebut kemudian terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam merancang program pemberdayaan masyarakat. Hal ini terjadi disamping didukung oleh adanya kebebasan paska reformasi juga adanya perubahan pandangan beberapa donor yang mendukung LPKP. Diantara program-program yang jelas nampak mengalami perubahan pendekatan adalah:

  1. Dari proyek konservasi ke Gerakan Petani,

Proyek yang pada awalnya dirancang untuk meningkatkan pendapatan petani melalui pengelolaan lahan kritis, yang kegiatannya lebih banyak tehnis konservasi dan pengembangan peternakan melalui kelompok usaha bersama ini, selama lebih dari 5 tahun tidak merubah posisi petani. Para petani terus bergantung dengan pupuk kimia, lahan pertanian tidak semakin subur. Setelah dilakukan analisis lebih mendalam, ternyata persoalannya adalah pemilikan lahan. Lahan pertanian yang menjadi sumber kehidupan petani tersebut untuk kepemilikannya dikuasai Marinir.

Oleh karena itu strategi program bergeser dari reformis ke transformatif, visi misinya mulai difokuskan pada masalah penguatan petani, kemudian terbentuk Organisasi Petani yang diberi nama Serikat Petani Mandiri. Kegiatan yang dilakukan selanjutnya oleh LPKP tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan praktis petani, tetapi melakukan transformasi social melalui pendidikan kritis dan melakukan aliansi dengan berbagai pihak, melakukan kampanye dan advokasi untuk memperjuangkan hak petani terhadap pemilikan tanah. Dalam program ini petani betul-betul menjadi pelaku perubahan, LPKP hanya berperan sebagai pendorong terjadinya kesadaran kritis pada petani.

  1. Dari Model Pendidikan untuk Pekerja Anak ke Jaringan LSM

Perubahan lain yang terjadi dalam pendekatan program yang dilakukan oleh LPKP adalah dalam penanganan pekerja anak. Pada awalnya LPKP mengembangkan program pendidikan non formal untuk menanggulangi pekerja anak. Program ini memberikan perlindungan terhadap pekerja anak dan peningkatan pendapatan pada keluarganya melalui bantuan modal, sebab LPKP memandang anak-anak bekerja karena kemiskinan keluarganya. Setelah cukup lama mengembangkan program tersebut, bahkan juga telah banyak LSM yang punya perhatian terhadap permasalahan pekerja anak, namun permasalahan pekerja anak dan kemiskinan bukan berkurang. Setelah dilakukan analisis secara lebih mendalam faktornya tidak hanya kemiskinan, namun juga kurangnya perlindungan hukum dan tidak optimalnya penegakan hukum, disamping juga permasalahan cultural.

Oleh karena itu diperlukan adanya gerakan untuk penghapusan pekerja anak, termasuk juga advokasi kebijakan. Perjuangan ini tidak mungkin dilakukan sendiri, namun diperlukan suatu kekuatan besar dalam bentuk Jaringan yang terkonsulidasi, sehingga dapat melakukan perubahan yang berdampak besar. Untuk membangun jaringan LSM sebagai gerakan yang kontra hegemoni diperlukan perubahan yang mendasar, yakni melakukan reposisi visi dan paradigma LSM melalui serangkaian pertemuan.

Dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan dalam rangka melakukan analisis masalah pekerja anak, kemudian dirumuskan dan disepakati visi-misi dan nilai yan dijunjung tinggi oleh Jaringan berdasarkan analisis masalah. Kemudian disepakati strategi dalam rangka mencapai visi yang menjadi kerangka kerja secara bersama-sama dalam jaringan untuk isu-isu yang sifatnya nasional maupun aktivitas masing-masing LSM untuk isu local.

oleh : Anwar Sholihin, Ketua Yay. LPKP Jawa Timur dan Koord. SC JARAK (Jaringan Lembaga Non Pemerintah untuk Program Aksi Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak di Indonesia), untuk bahan diskusi mengenai perubahan social di Indonesia dengan Mahasiswa ISP – MCE Malang

Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembangunan Nasional

Oleh: M. Nurul Amin (Mahasiswa pascasarjana program studi ilmu politik
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)

Seiring dengan makin tingginya kesadaran masyarakat akan arti penting
lingkungan hidup, nilai-nilai budaya, humanisme dan hak-hak asasi manusia,
lembaga swadaya masyarakat (LSM) semakin memiliki arti tersendiri di
masyarakat.

Sesuai dengan namanya (walaupun istilah LSM tidak tepat, karena kurang
substansif dan merupakan "istilah akomodatif' terhadap keinginan penguasa
dibanding Non-Government Organizations-NGOs), LSM umumnya bertujuan
mensejahterakan masyarakat, dalam arti memberdayakan masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan bersama.

Kebutuhan tersebut bisa berarti pendidikan, tempat tinggal yang layak,
keadilan, lingkungan yang alami, dan dalam skala tertentu termasuk pula
persoalan gender.

Jenis LSM sendiri setidaknya dapat dibagi menjadi dua golongan.
Pertama, LSM dikalangan aktivis sering dikatakan LSM pelat merah, yakni LSM
yang dibentuk atas inisiatif pemerintah untuk mendukung pelaksanaan
pembangunan pada level tertentu.
Kedua, LSM yang dibentuk oleh kalangan yang umumnya berada pada kelas
menengah, seperti intelektual, mahasiswa ataupun sejumlah orang yang
concern pada kesejahteraan masyarakat yang tak terjangkau tangan-tangan
negara (pembangunan!) dan pada level paling rendah adalah kalangan kelas
bawah. Selain kedua jenis itu, ada yang menambahkan jenis ketiga, yakni LSM
yang dibentuk atas dasar ikatan tradisional.

Jenis LSM yang pertama perannya lebih banyak pada dukungan atas program
yang dicanangkan pemerintah. Artinya, LSM ini memiliki keterikatan yang
cukup dekat dengan pemerintah. Setidaknya dalam soal pendanaan atau dalam
skala tertentu otoritas dalam pelaksanaan di lapangan. Dalam kelompok ini
yang terlihat perannya antara lain PKK dan Dharma Wanita.

Pada jenis kedua, umumnya mengambil jarak dengan pemerintah (namun
bukan berarti oposisi) dan memiliki independesi tinggi, sementara sektor
pendanaan banyak disokong oleh organisasi atau yayasan tertentu di luar
negeri. Umumnya lSM dalam kelompok ini melontarkan kritik pada penguasa
(baca: pembangunan ) dengan dasar fakta dan analisis kritis yang
seringkali disertai solusi rasional dan banyak bertumpu pada kepentingan
rakyat kebanyakan.

Satu hal yang patut dicatat, LSM golongan ini seringkali melontarkan
pandangan kritis yang bernada 'sumbang' terhadap pemerintah, baik itu pada
lingkup nasional ataupun pada 'kesempatan' berbicara di forum luar negeri.
Akibatnya banyak kalangan menilai LSM (minimal individu-individu yang
menjadi anggotanya) golonga ini 'beroposisi' dengan pemerintah dan sudah
barang tentu kerap mendapat sorotan khusus dari penguasa. LSM yang cukup
memiliki nama dari golongan ini antara lain LBH, Walhi dan berbagai jenis
LSM yang mengkonsentrasikan diri pada persoalan hak asasi manusia.

Pada skala lain, ada LSM dari jenis ini yang bersifat akomodatif
terhadap pemerintah, dan ada pula yang lebih banyak berkecimpung dalam
bidang yang menjadi lahan garapannya. Dalam kelompok ini Muhammadiyah,
Taman Siswa dan berbaai organisasi lainnya merupakan contoh relevan.

Sedangkan untuk kelompok ketiga, lebih banyak bersifat kekeluargaan dan
mengambil jalan musyawarah bersama dalam menyelesaikan persoalan, seperti
halnya rembuk desa di pedesaan Jawa.

Di bawah regim Orde Baru, dimensi ekonomi diletakkan pada posisi
terdepan. Segala kebijakan yang diambil umumnya menuju ke arah yang satu
ini. Tujuan utama yang hendak dicapai adalah bagaimana meningkatkan taraf
hidup rakyat lewat proses pembangunan ekonomi. Berbagai regulasi ekonomi
dikeluarkan, lobby untuk memperoleh bantuan dana dari luar semakin
digencarkan, sementara persoalan sumber daya manusia ditingkatkan dengan
pengiriman sejumlah individu untuk mempelajari ilmu ekonomi modern di luar
negeri (umumnya negara-negara Barat), sumber daya alam dimaksimalkan
fungsinya, dan akhirnya segenap pranata sosial dan politik ditempatkan pada
posisi yang mendukung pembangunan ekonomi.

Dalam waktu relatif singkat, pembangunan ekonomi yang bercirikan
kapitalisme yang dijalankan tampak mengubah tingkat kesejahteraan rakyat
(setidaknya dari indikator GNP), tingkat pendidikan rakyat meningkat pesat,
kota-kota semakin berkembang menjadi besar bahkan berskala metropolis,
kemajuan teknologi pun berjalan sejajar. Pendek kata segenap prasarana dan
sarana sosial `terlengkapi'.

Namun, di satu sisi pembangunan itu sendiri menampilkan ketimpangan yang
nyata. Pembangunan ekonomi menimbulkan efek konglomerasi yang mengakibatkan
semakin menajamnya kesenjangan sosial.

Aset ekonomi (produksi) sebagian besar dikuasai oleh segelintir orang
saja, praktek kolusi/monopoli dan koneksi dalam dunia usaha semakin meluas.
Sementara elit politik dan aparat birokrasi banyak memberi keuntungan
kepada kalangan tertentu dibandingkan fungsi yang seharusnya yaitu melayani
kepentingan masyarakat.

Di sisi lain, penggusuran atas nama pembangunan semakin merajalela,
dalam beberapa kasus hak-hak rakyat (termasuk di dalamnya buruh/pekerja)
diabaikan, lingkungan hidup seringkali berubah menjadi bertolak belakang.

Akibatnya mudah diterka, banyak terjadi benturan antara pemerintah dan
rakyat, antara pengusaha dan pekerja, antara kaum agamawan dan kaum
modernis, bahkan adakalanya antara manusia dan dirinya sendiri.

Benturan-benturan antaraktor akibat ketimpangan pembangunan tersebut
kerap membuat keadaan emnjadi `tak menentu' bahkan dalam skala tertentu
menambah persoalan ketidakadilan.

Tak pelak lagi ketimpangan sosial akibat proses pembagunan dan berbagai
aspek lain yang mengikutinya memunculkan berbagai persoalan pelik. Solusi
persoalan ini dalam strata bahwa tampaknya cukup sulit untuk diselesaikan
oleh penguasa. Setidaknya ada dua hal yang menjadi kendala utamanya.

Pertama, sebagai akibat langsung dari proses pembangunan yang `kurang
mengakar' maka kesadaran rakyat terhadap politik pembangunan relatif kecil.
Akibatnya mudah terjadi benturan antara penguasa (pelaksana pembangunan)
dengan masyarakat.

Kedua, secara prinsipial, sebagian besar masyarakat lebih menginginkan
bentuk konkret dari proses pembangunan. Artinya, masyarakat `pengorbanan'
yang diberikan sesuai dengan apa yang didapatkan dalam bentuk yang nyata.
Pajak, hasil bumi, tanah garapan dan sebagainya di suatu daerah kerap
diparalelkan dengan pembangunan di satu daerah/lokasi itu sendiri.

Pada titik kritis inilah LSM memiliki arti penting sebagai sarana
penghubung, penyadar, sekaligus sebagai `alat kontrol' dalam proses
pembangunan LSM sendiri muncul karena kesadaran akan arti penting
nilai-nilai kemanusiaan dan tanggung jawab pembangunan.

Bila demikian halnya LSM memungkinkan tumbuhnya kesadaran akan nilai
asasi manusia yang didudukan sejajar dengan proses pembangunan. Sementara
itu kedekatan LSM dengan rakyat bawah memungkinkan melihat persoalan dari
sisi yang berimbang, pada tahap lanjut LSM dapat membawanya pada pemerintah
beserta alternatif solusi yang memadai.

Dalam bentuknya yang demikian, LSM menjadi kekuatan sosial politik yang
memungkinkan proses pembangunan berkelanjut dalam proporsi yang seharusnya
dan bernuansakan nilai-nilai kemanusiaan.

Sementara itu, jaringan (informasi) diantara sejumlah LSM karena faktor
dana dan `kesamaan' kepentingan? dalam dan luar negeri yang relatif kuat
bisa menjadi sandaran dalam menilai proses pembangunan yang sedang
berjalan.

Tanpa menafikan adanya sejumlah LSM yang dalam skala tertentu
menggunakan lembaga tersebut untuk kepentingan politik dan `menyudutkan'
penguasa, yang terpenting adalah bagaimana menciptakan iklim yang kondunsif
bagi keikutsertaan LSM dalam proses pembangunan.

Artinya, terciptanya keserasian antara penguasa, pelaksana pembangunan
(aparatur negara) dan LSM yang berjalan pada rel yang sama dengan visi yang
berbeda untuk kepentingan bersama.

Bila demikian halnya, yang perlu dikembangkan adalah suasana dialogis,
keterbukaan, bukan sikap saling curiga/ tuduh atau mungkin kontrol lewat
regulasi yang tidak fair.

Kalau itu yang terjadi, apapun perilaku suatu LSM atau apapun regulasi
(Keppres dsb) yang ada tidak menjadi persoalan selama masih bergerak pada
`kereta' yang sama, pembangunan yang berkemanusiaan.

Sabtu, 14 Mei 2011

Susunan Pengurus LPKM Lombok Timur

Nama                       :   Lembaga Pengkajian Kesejahteraan Masyarakat
Berdiri                      :   Tanggal 28 Desember 2010 di Wanasaba
Sekretariat              :   JI. By Pass  Lb. Lombok Dsn Jorong Daya Wanasaba
Akta Notaris            :  Nomor 12 Tanggal 11 Mei Tahun 2011 oleh Ali Masadi,SH.M.Kn.
Susunan Pengurus  :
Ketua                           :    Lalu Muhammad Fadil
Wakil Ketua                :    Drs. L.Muh. Tarmizi
Sekretaris                   :    Lalu Iqbal Izzi, S.Pd.
Wakil Sekretaris        :    L. Sanur Jagad, S. Pd
Bendahara                  :   Pahrudin, A.Md.
Wakil Bendahara       :   L.Muhamad Subi, A.Md.
Seksi Pengkaderan  :   Abdurrahman Umar
Seksi Hukum             :    H. Misnun Ali, SH.
Seksi Humas             :    Umar Sulhi
Seksi Sosial              :    Budiharjo
                                         Seksi Inkom               :    Pahrurrozi

Lembaga Pengkajian Kesejahteraan Masyarakat (LPKM) - Lombok Timur


Demokrasi adalah sebuah nama atas keselarasan dalam berkehidupan dan berkebangsaan, di mana antara pemerintah dan rakyat saling mendukung, yang atas mengayomi yang bawah sebaliknya yang bawah mentaati yang atas. Di bangku sekolah siswa dan mahasiswa terus menerus dicekoki dengan berbagai istilah tentang tercapainya adil dan sejahtera. Tapi kenyataanya hanya masih merupakan mimpi - mimpi muluk bagi rakyat Indonesia. Berbagai upaya dan perubahan­-perubahan dicoba hanya untuk menemukan rumusan yang pas yang disinyalir akan membawa kepada kepositifan rakyat akan sampai kepada cita-cita bersama tersebut. Tapi mungkin hanya rakyat yang faham tentang semua itu. Karena pemerintah lebih senang berfikir kepada kekuasaan, setiap masa pemilu dan bahkan sepanjang perjalanan bernegara, para elit politik hanya berlomba saling mengejar, saling menjatuhkan untuk merebut kekuasaan dan bagi yang tengah berkuasa dengan berbagai cara akan mempertahankan kekuasaannya. Rakyat hanya sebagai objek saja kalau tidak mau kita katakan korban dari kerakusan.
Untuk itu diperlukan sebuah kritik sosial yang akan berfungsi sebagai chek and balance supaya pemerintah terus menerus disadarkan atas beban dan tanggung jawab yang diamanatkan rakyat kepadanya. Dan sebagai sebuah kelembagaan yang besar dan kompleks, pemerintah yang terlahir dari saringan partai- partai raksasa pemenang pemilu (Pilkada dan Pilpres) adalah mesin-mesin yang akan mengolah kepentingan organisasi/ partainya. Jadi untuk melakukan chek and balance tidak akan berpengaruh besar bila hanya dilakukan perorangan, diperlukan sebuah kelembagaan yang berkonsentrasi untuk melakukan hal itu. Untuk itulah Lembaga Pengkajian kesejahteraan masyarakat (LPKM) ini terbentuk.
Sebuah lembaga tidak akan berjalan normal apabila tidak didukung dengan pendanaan yang kuat. Maka perlu diupayakan keterlibatan para donatur yang se­ide dalam rangka mengangkat harkat dan martabat masyarakat yang terpinggirkan baik secara langsung ataupun tidak langsung.
C. SASARAN
Yang menjadi sasaran utama dari LPKM adalah :
1. Pengukuran Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Lombok Timur dari tahun ke tahun. Akan dilakukan penelaahan dan pengkajian, bekerja sama dengan lembaga-lembaga survei, menemukan pangkal permasalah yang terkait dengan tidak tercapainya kesejahteraan dan keadilan secara partial dan umum.
2. Melakukan presser (penekanan) terhadap lembaga pemerintah/swasta terkait dengan tidak tercapainya keadilan dan kesejahteraan yang dicita-citakan yang menjadi tanggung jawabnya.
3. Mengupayakan membantu masyarakat dalam perlindungan hak-haknya dan mencarikan alternatif untuk membangun kemandirian masyarakat menuju kesejahteraan.
Adapun dasar dari pengambilan sasaran ini adalah terjadinya degradasi Pembangunan Lombok Timur di era pemerintahan sekarang ini yang sepertinya jauh dari nilai-nilai demokrasi. Yang terasa adalah pemerintahan Tirani yang diktator, yaitu tirani organisasi, maka yang muncul adalah pengkultusan, arah pembangunan hanya fokus pada kepentingan pribadi sang Tiran (pemimpin yang dipuja) dan organisasinya, jabatan-jabatan pemerintahan dan perekrutan PNS lebih mengutamakan kedekatan bukan keahlian/profesionalisme, matinya kebebasan berpendapat, dan kepincangan-kepincangan lainnya. Kalau sudah begini, alih-alih kemajuan yang akan dicapai malah kemunduranlah yang terjadi. Maka tidak ada kata lain : Lawan.
1.    Seminar-seminar
Mengambil tema yang ter-update dengan narasumber-narasumber yang berkwalitas
2.  Advokasi Hukum
Selain membentuk divisi khusus untuk menangani kasus, akan bekerja sama dengan lembaga pemerintah dan swasta.
3.  Layanan Konsultasi dan Informasi (menerbitkan Buletin)
Yang akan menjadi media komunikasi dan diskusi guna mencari solusi yang tepat atas permasalahan publik yang mengemuka.
4.  Kegiatan Sosial Kemasyarakatan
Kegiatan yang dapat membantu  menyelesaikan permasalahan sosial masyarakat terutama yang terkait dengan kinerja pemerintah ditingkat desa dan kecamatan, dan juga memberikan stimulan kepada masyarakat yang membutuhkan terkait kepentingan sosial.
5.   Pengkaderan
Untuk menjaring potensi-potensi muda yang akan menjadi ujung tombak pejuang kemanusiaan.